Tanggal 17 Maret 2009 lalu terjadi pembunuhan terhadap seorang karyawati perusahaan farmasi, Elen Sutjiadi (22 tahun). Bertempat di tangga darurat lantai 7,5 Pacific Place, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pembunuhan ini dilakukan oleh seorang petugas keamanan, Mulyadi bin Saimin (29 tahun). Petugas itu sehari-harinya bekerja sebagai satpam di bioskop Blitz Megaplex. Saat ditemukan, korban berada dalam keadaan terlentang dan seluruh tubuhnya mengalami luka sayatan terutama di bagian leher dan muka. Bahkan, wajahnya sendiri nyaris tidak bisa dikenali karena penuh dengan luka sayatan senjata tajam.
Kejadian ini bagaikan sebuah daya tarik berbagai prediksi tentang motif dibalik semua. Salah satu artikel yang saya baca dari Warta Kota online, polisi mengendus pelakunya seorang gay atau homoseksual. "Tersangka diduga cemburu berat. Artinya, pria gay ini merasa pacarnya diserobot oleh Elen," ujar seorang polisi di Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini. Karena dibakar api cemburu itulah sang pelaku akhirnya membunuh Elen dengan cara yang termasuk sadis.
Homoseksual
Kasus ini terkait dengan adanya pelaku yang memiliki penyimpangan seksual yakni homoseksual. Fenomena homoseksual bukan merupakan hal baru di dalam masyarakat kita. Jika dahulu perilaku homoseksual dianggap tabu, kini tidak lagi. Banyak orang-orang mengaku bahwa mereka homo dan mereka bersikap biasa saja, bahkan bangga. Di Belanda misalnya, undang-undang yang melegalkan pernikahan dengan sesama jenis telah disahkan di negeri kincir angin tersebut. Banyak orang yang menggelar acara pernikahan di sana agar status mereka sebagai homoseksual diakui secara hukum.
Secara normal, setiap orang akan merasa tertarik kepada orang lain dengan jenis kelamin yang berbeda, yaitu antara pria dan wanita. Keadaan kemudian menjadi abnormal saat ketertarikan secara seksual bukan lagi terhadap lawan jenis, tetapi kepada sesama jenis, beda jenis, bahkan berbeda bentuk sekalipun. Ini kemudian dikenal sebagai penyimpangan seksual. Tidak hanya homoseksual, penyimpangan seksual sendiri memiliki berbagai macam jenis seperti exhibitionism, fetishism, frotteurism, pedophilia, masochism, sadism, voyeurism, dan lain-lain. Pengategorisasian penyimpangan seksual tersebut tergantung kepada penyebab terjadinya sexual arousal atau pemicu seksual. Pada perilaku seksual yang menyimpang, sexual arousalterjadi karena hal-hal tertentu yang dianggap tidak normal dimata masyarakat. Seperti ketertarikan kepada hewan, suara telepon, feses, bahkan mayat, yang kemudian dapat merangsang seksual.
Adalah homoseksual, menyukai sesama jenis. Perempuan menyukai perempuan dan pria menyukai sesamanya. Bukan lagi menjadi suatu hal yang mengejutkan karena jika kita lihat di sekitar kita, ada saja orang-orang yang seperti itu. Sebagai contoh, saya memiliki teman yang memiliki pacar seorang pria, padahal dia sendiri seorang pria. Suatu hari, dia bercerita bahwa dia baru berciuman dengan pacar prianya itu saat menonton film layar lebar. Saat saya menanyakan apakah dia terangsang saat berciuman, dengan entengnya dia menjawab “Ya lumayan sih, habis dia tampan.”
Saya membaca salah satu artikel di Kompas online yang membahas mengenai pembunuh Elen yang diduga seorang gay. Selesai membaca artikel tersebut, saya membaca berbagai komentar tentang artikel tersebut dibawahnya yang menjurus kepada ketidakterimaan masyarakat akan orang-orang yang menganggap gay itu harus dijauhkan. Bahkan, masyarakat kita sendiri berperilaku seperti itu, menganggap bahwa menjadi seorang gay dan lesbian adalah sah-sah saja. Banyak pernyataan yang menjadi sebuah tameng para gay dan lesbian untuk tetap eksis. Salah satunya adalah: “Mereka juga manusia, sama seperti kita”. Pada salah satu komentar tentang pertentangan antara pro dan kontra homoseksual di artikel yang saya baca tersebut, seseorang meninggalkan komentar yang berbunyi seperti ini, “Pak Polisi, cepatlah tuntaskan kasus ini, supaya enggasaling menjelekkan. Aku cuma mau tanya : Siapa yang mau punya keturunan tidak normal?” Dari pernyataan diatas, jelaslah orang itu menganggap homoseksual terjadi karena adanya faktor keturunan. Benarkah itu?
Perspektif
Dilihat dari perspektif biologis, tidak salah jika banyak orang menganggap homoseksual merupakan sebuah ‘penyakit’ keturunan. Setiap orang dilahirkan dengan tingkat hormon yang berbeda-beda. Ada orang-orang yang dilahirkan dengan tingkat hormon yang tinggi, yang menyebabkan dorongan seksualnya juga tinggi. Seringkali, orang-orang dengan libido tinggi ini tidak mampu menyalurkan hasrat seksualnya terkait dengan banyak hal seperti belum menikah, berada dalam tahanan Lembaga Pemasyarakatan, istri tidak tertarik dengan seks (frigid), dan banyak hal lainnya. Sehingga, orang-orang dengan tingkat libido tinggi tersebut kemudian dipaksa untuk mengeluarkan fiksi yang menyesatkan. Orientasi seksual mereka pun berubah, tidak lagi ketertarikan terhadap lawan jenis, tetapi ketertarikan terhadap hal-hal lain. Misalnya saja orang-orang di lembaga pemasyarakatan yang terbiasa hidup bersama dengan orang-orang dengan jenis kelamin yang sama, maka ia akan cenderung menyukai sesama jenis.
Faktor lain berperan penting dalam hal ini. Seperti faktor lingkungan sekitar. Faktor ini berpengaruh besar dalam membentuk pemikiran yang akhirnya mempengaruhi individu dalam mengarahkan orientasi seksualnya. Faktor lingkungan membuat seorang individu mempelajari yang terjadi di sekitarnya. Berbeda dengan perspektif biologis, mempelajari suatu perilaku dari lingkungan sekitar disebut juga learning theories.Learning theory juga memegang peranan penting mengenai penolakan terhadap heteroseksual, dan memberikan stimuli yang tidak benar terhadap orientasi seksual
Dalam lembaga pemasyarakatan misalnya, seorang narapidana diharuskan hidup dengan narapidana lain yang jenis kelaminnya sama. Selain itu, keberadaan dia di lembaga pemasyarakatan tersebut tanpa didampingi oleh istri atau suami sahnya. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kondisi seksualnya. Apalagi jika narapidana itu melihat teman-temannya yang lebih dulu berada di lembaga pemasyarakatan menjalin hubungan dengan sesama jenis. Awalnya dia akan memberi penolakan terhadap hal yang dianggap tabu tersebut. Namun, lama kelamaan, dia akan menerima dan bahkan mempelajarinya sebagai salah satu orientasi seksualnya.
Hal ini tidak hanya terjadi di lembaga pemasyarakatan tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Banyak media yang bisa dijadikan pembelajaran untuk menjadi homoseksual. Mulai dari komik-komik manga seperti ghostdan gravitation sampai tayangan-tayangan yang ada di televisi maupun film luar seperti brokeback mountain , sugar, boys don’t cry, dan lainnya. Dari film itu kemudian terciptalah sebuah culture atau kebudayaan yang membuat kaum homoseksual terlihat seolah-olah benar, dan tidak menyimpang.
Homoseksual vs Kekerasan
Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Komisaris Besar Carlo Brix Tewu, lebih dari separuh kasus pembunuhan yang melibatkan homoseksual berakhir dengan mutilasi. Kasus umumnya dilakukan secara spontan dan terkait dengan persoalan pasangan seks. ”Angkanya saya punya, tetapi tidak di tangan saya sekarang. Jadi saya sebut saja, lebih dari separuh berakhir mutilasi” ujarnya dalam salah satu artikel dikompas.com.
Tidak hanya kasus Elen yang telah dibahas diatas yang berakhir dengan pembunuhan sadis. Kasus pembunuhan berantai dan mutilasi yang dilakukan terdakwa Very Idham Henyansyah alias Ryan (30) juga melibatkan homoseksual dan pembunuhan sadis. Lalu, apakah ada korelasi antara homoseksual dengan perilaku kekerasan? Kedua perilaku tersebut secara psikologis dibedakan, namun secara penyebab kurang lebih sama. Secara biologis, tingginya hormon testosterone berperan penting dalam menentukan tingkat agresivitas seseorang dan juga tingkat keinginan seksual yang ada dalam diri mereka.
Setiap orang ingin dihargai, tidak terkecuali kaum homoseksual. Kaum homoseksual memiliki keterikatan yang kuat dengan sesamanya. Mengutip pernyataan dari prof Adrianus, Guru Besar Kriminologi UI, dalam artikelkompas.com yang sama saat membahas kasus Ryan si penjagal, pembagian peran pria dan wanita menentukan eksistensi setiap homoseks. Jika salah seorang dari pasangan homoseks hilang (lari, selingkuh, kembali menjadi pria sesuai fungsi tubuhnya, atau meninggal), maka homoseks lainnya mengalami krisis peran, krisis eksistensi. Bisa dimengerti jika kemudian Mulyadi membunuh Elen karena dibakar api cemburu. Mulyadi merasa pasangan homoseksualnya hilang karena kehadiran Elen yang membuat Ryan, pacar Elen, menjadi lelaki seutuhnya. Dengan hilangnya Ryan, Mulyadi kemudian merasa kehilangan eksisitensinya sebagai homoseksual. Ia menyalahkan Elen sebagai biang kerok dari semua masalah, dan akhirnya membunuh Elen.
Mayat Elen yang ditemukan di Pasific Place keadaannya sangat parah. Wajah korban hampir tidak dikenali karena luka sayatan yang dibuat oleh pelaku. Dari cara pelaku menghabisi korban, dapat kita lihat bahwa pelaku menghabisi korban dengan diikuti amarah atau nafsu yang membuatnya memperlakukan korban seperti pelampiasan seluruh amarahnya. Dalam banyak kasus pembunuhan yang dilakukan kaum heteroseksual, seperti dikutip di Kompas.com, pelaku umumnya menikam korban satu atau dua kali. Sedangkan para homoseksual khususnya kaum gay yang melakukan pembunuhan biasanya menikam korban lebih dari sepuluh kali. Seorang kriminolog menambahkan bahwa pola atau gaya pembunuhan yang dilakukan seorang gay sangat khas. Mereka cenderung menghabisi seseorang yang dianggap menyerobot pacarnya dengan cara-cara di luar kelaziman.
Pelaku disini memiliki motif power atau kekuasaan, dimana ia membunuh untuk menunjukkan eksistensi dan harga dirinya sebagai homoseksual. Menurut Guru Besar Psikologi UI Sarlito, asmara yang tumbuh di antara kaum homoseksual pria umumnya adalah cinta platonis, mencintai untuk menguasai dengan pendekatanloose-loose solution dan bukan win-win solution. Dengan kata lain, dalam kasus-kasus perebutan, perselingkuhan, dan pertengkaran asmara, kaum homoseks umumnya berprinsip, 'kalau saya tidak dapat, maka kamu pun tidak akan mendapat dia'. Interaksi berlangsung agresif saling menghancurkan.
Kecemburuan berbuah pembunuhan. Akankah kasus seperti ini akan kembali bermunculan di masa mendatang pada kalangan homoseksual? Mungkin. Tetapi bukan berarti menutup kemungkinan akan dilakukan oleh kaum heteroseksual yang menurut pandangan masyarakat memiliki orientasi seksual yang normal. Malah, karena kaum heterogen lebih banyak, justru kaum normal inilah yang butuh kita waspadai. Mengutip jargon sebuah tayangan berita di televisi, ‘Buka mata, ini nyata, waspadalah!’