Sunday 26 April 2009

Konsekuensi seorang Intel


Saat itu dosen saya lagi menerangkan tentang pekerjaan seorang Intelijen. Pekerjaan intel bersifat rahasia, gunanya adalah untuk mencegah kejahatan. Karena kerahasiaannya itu, tidak ada satupun dari kita yang tahu tentang kehadiran seorang intel di lingkungan sekitar kita. Bicara tentang pekerjaan sebagai intel, dosen saya kemudian menjelaskan bagaimana pekerjaan sebagai intel bisa membuat kita kaya. Karena, kita bisa bekerja di dua institusi yang berbeda tanpa diketahui institusi tempat kita bekerja tersebut. Istilahnya: muka dua. Tapi selama itu tidak saling menjatuhkan sepertinya sah-sah saja.. heheehe.

Lalu teman-teman di kelas saya mulai menghayal menjadi intelijen suatu hari dan bekerja minimal di BIN, dengan gaji luar biasa besar. Hampir semua tertarik untuk menjadi intel. Sampai pada suatu saat, dosen saya menunjukkan slide presentasi tentang konsekuensi menjadi intel. Slide itu berisi:

- Berhasil, tidak dipuji
- Gagal, dicaci maki
- Hilang, tidak dicari
- Mati, tidak diakui

Sontak semua orang di kelas terdiam sejenak lalu tertawa. Nasib ya nasib seorang intel... Mau jadi intel? Mikir lagi deh...

Saturday 25 April 2009

Homoseksual vs Perilaku Kekerasan




Tanggal 17 Maret 2009 lalu terjadi pembunuhan terhadap seorang karyawati perusahaan farmasi, Elen Sutjiadi (22 tahun). Bertempat di tangga darurat lantai 7,5 Pacific Place, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pembunuhan ini dilakukan oleh seorang petugas keamanan, Mulyadi bin Saimin (29 tahun). Petugas itu sehari-harinya bekerja sebagai satpam di bioskop Blitz Megaplex. Saat ditemukan, korban berada dalam keadaan terlentang dan seluruh tubuhnya mengalami luka sayatan terutama di bagian leher dan muka. Bahkan, wajahnya sendiri nyaris tidak bisa dikenali karena penuh dengan luka sayatan senjata tajam.


Kejadian ini bagaikan sebuah daya tarik berbagai prediksi tentang motif dibalik semua. Salah satu artikel yang saya baca dari Warta Kota online, polisi mengendus pelakunya seorang gay atau homoseksual. "Tersangka diduga cemburu berat. Artinya, pria gay ini merasa pacarnya diserobot oleh Elen," ujar seorang polisi di Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini. Karena dibakar api cemburu itulah sang pelaku akhirnya membunuh Elen dengan cara yang termasuk sadis.


Homoseksual

Kasus ini terkait dengan adanya pelaku yang memiliki penyimpangan seksual yakni homoseksual. Fenomena homoseksual bukan merupakan hal baru di dalam masyarakat kita. Jika dahulu perilaku homoseksual dianggap tabu, kini tidak lagi. Banyak orang-orang mengaku bahwa mereka homo dan mereka bersikap biasa saja, bahkan bangga. Di Belanda misalnya, undang-undang yang melegalkan pernikahan dengan sesama jenis telah disahkan di negeri kincir angin tersebut. Banyak orang yang menggelar acara pernikahan di sana agar status mereka sebagai homoseksual diakui secara hukum.

Secara normal, setiap orang akan merasa tertarik kepada orang lain dengan jenis kelamin yang berbeda, yaitu antara pria dan wanita. Keadaan kemudian menjadi abnormal saat ketertarikan secara seksual bukan lagi terhadap lawan jenis, tetapi kepada sesama jenis, beda jenis, bahkan berbeda bentuk sekalipun. Ini kemudian dikenal sebagai penyimpangan seksual. Tidak hanya homoseksual, penyimpangan seksual sendiri memiliki berbagai macam jenis seperti exhibitionism, fetishism, frotteurism, pedophilia, masochism, sadism, voyeurism, dan lain-lain. Pengategorisasian penyimpangan seksual tersebut tergantung kepada penyebab terjadinya sexual arousal atau pemicu seksual. Pada perilaku seksual yang menyimpang, sexual arousalterjadi karena hal-hal tertentu yang dianggap tidak normal dimata masyarakat. Seperti ketertarikan kepada hewan, suara telepon, feses, bahkan mayat, yang kemudian dapat merangsang seksual.



Adalah homoseksual, menyukai sesama jenis. Perempuan menyukai perempuan dan pria menyukai sesamanya. Bukan lagi menjadi suatu hal yang mengejutkan karena jika kita lihat di sekitar kita, ada saja orang-orang yang seperti itu. Sebagai contoh, saya memiliki teman yang memiliki pacar seorang pria, padahal dia sendiri seorang pria. Suatu hari, dia bercerita bahwa dia baru berciuman dengan pacar prianya itu saat menonton film layar lebar. Saat saya menanyakan apakah dia terangsang saat berciuman, dengan entengnya dia menjawab “Ya lumayan sih, habis dia tampan.”



Saya membaca salah satu artikel di Kompas online yang membahas mengenai pembunuh Elen yang diduga seorang gay. Selesai membaca artikel tersebut, saya membaca berbagai komentar tentang artikel tersebut dibawahnya yang menjurus kepada ketidakterimaan masyarakat akan orang-orang yang menganggap gay itu harus dijauhkan. Bahkan, masyarakat kita sendiri berperilaku seperti itu, menganggap bahwa menjadi seorang gay dan lesbian adalah sah-sah saja. Banyak pernyataan yang menjadi sebuah tameng para gay dan lesbian untuk tetap eksis. Salah satunya adalah: “Mereka juga manusia, sama seperti kita”. Pada salah satu komentar tentang pertentangan antara pro dan kontra homoseksual di artikel yang saya baca tersebut, seseorang meninggalkan komentar yang berbunyi seperti ini, “Pak Polisi, cepatlah tuntaskan kasus ini, supaya enggasaling menjelekkan. Aku cuma mau tanya : Siapa yang mau punya keturunan tidak normal?” Dari pernyataan diatas, jelaslah orang itu menganggap homoseksual terjadi karena adanya faktor keturunan. Benarkah itu?




Perspektif
Dilihat dari perspektif biologis, tidak salah jika banyak orang menganggap homoseksual merupakan sebuah ‘penyakit’ keturunan. Setiap orang dilahirkan dengan tingkat hormon yang berbeda-beda. Ada orang-orang yang dilahirkan dengan tingkat hormon yang tinggi, yang menyebabkan dorongan seksualnya juga tinggi. Seringkali, orang-orang dengan libido tinggi ini tidak mampu menyalurkan hasrat seksualnya terkait dengan banyak hal seperti belum menikah, berada dalam tahanan Lembaga Pemasyarakatan, istri tidak tertarik dengan seks (frigid), dan banyak hal lainnya. Sehingga, orang-orang dengan tingkat libido tinggi tersebut kemudian dipaksa untuk mengeluarkan fiksi yang menyesatkan. Orientasi seksual mereka pun berubah, tidak lagi ketertarikan terhadap lawan jenis, tetapi ketertarikan terhadap hal-hal lain. Misalnya saja orang-orang di lembaga pemasyarakatan yang terbiasa hidup bersama dengan orang-orang dengan jenis kelamin yang sama, maka ia akan cenderung menyukai sesama jenis.


Faktor lain berperan penting dalam hal ini. Seperti faktor lingkungan sekitar. Faktor ini berpengaruh besar dalam membentuk pemikiran yang akhirnya mempengaruhi individu dalam mengarahkan orientasi seksualnya. Faktor lingkungan membuat seorang individu mempelajari yang terjadi di sekitarnya. Berbeda dengan perspektif biologis, mempelajari suatu perilaku dari lingkungan sekitar disebut juga learning theories.Learning theory juga memegang peranan penting mengenai penolakan terhadap heteroseksual, dan memberikan stimuli yang tidak benar terhadap orientasi seksual


Dalam lembaga pemasyarakatan misalnya, seorang narapidana diharuskan hidup dengan narapidana lain yang jenis kelaminnya sama. Selain itu, keberadaan dia di lembaga pemasyarakatan tersebut tanpa didampingi oleh istri atau suami sahnya. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kondisi seksualnya. Apalagi jika narapidana itu melihat teman-temannya yang lebih dulu berada di lembaga pemasyarakatan menjalin hubungan dengan sesama jenis. Awalnya dia akan memberi penolakan terhadap hal yang dianggap tabu tersebut. Namun, lama kelamaan, dia akan menerima dan bahkan mempelajarinya sebagai salah satu orientasi seksualnya.


Hal ini tidak hanya terjadi di lembaga pemasyarakatan tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Banyak media yang bisa dijadikan pembelajaran untuk menjadi homoseksual. Mulai dari komik-komik manga seperti ghostdan gravitation sampai tayangan-tayangan yang ada di televisi maupun film luar seperti brokeback mountain , sugar, boys don’t cry, dan lainnya. Dari film itu kemudian terciptalah sebuah culture atau kebudayaan yang membuat kaum homoseksual terlihat seolah-olah benar, dan tidak menyimpang.



Homoseksual vs Kekerasan
Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Komisaris Besar Carlo Brix Tewu, lebih dari separuh kasus pembunuhan yang melibatkan homoseksual berakhir dengan mutilasi. Kasus umumnya dilakukan secara spontan dan terkait dengan persoalan pasangan seks. ”Angkanya saya punya, tetapi tidak di tangan saya sekarang. Jadi saya sebut saja, lebih dari separuh berakhir mutilasi” ujarnya dalam salah satu artikel dikompas.com.


Tidak hanya kasus Elen yang telah dibahas diatas yang berakhir dengan pembunuhan sadis. Kasus pembunuhan berantai dan mutilasi yang dilakukan terdakwa Very Idham Henyansyah alias Ryan (30) juga melibatkan homoseksual dan pembunuhan sadis. Lalu, apakah ada korelasi antara homoseksual dengan perilaku kekerasan? Kedua perilaku tersebut secara psikologis dibedakan, namun secara penyebab kurang lebih sama. Secara biologis, tingginya hormon testosterone berperan penting dalam menentukan tingkat agresivitas seseorang dan juga tingkat keinginan seksual yang ada dalam diri mereka.


Setiap orang ingin dihargai, tidak terkecuali kaum homoseksual. Kaum homoseksual memiliki keterikatan yang kuat dengan sesamanya. Mengutip pernyataan dari prof Adrianus, Guru Besar Kriminologi UI, dalam artikelkompas.com yang sama saat membahas kasus Ryan si penjagal, pembagian peran pria dan wanita menentukan eksistensi setiap homoseks. Jika salah seorang dari pasangan homoseks hilang (lari, selingkuh, kembali menjadi pria sesuai fungsi tubuhnya, atau meninggal), maka homoseks lainnya mengalami krisis peran, krisis eksistensi. Bisa dimengerti jika kemudian Mulyadi membunuh Elen karena dibakar api cemburu. Mulyadi merasa pasangan homoseksualnya hilang karena kehadiran Elen yang membuat Ryan, pacar Elen, menjadi lelaki seutuhnya. Dengan hilangnya Ryan, Mulyadi kemudian merasa kehilangan eksisitensinya sebagai homoseksual. Ia menyalahkan Elen sebagai biang kerok dari semua masalah, dan akhirnya membunuh Elen.


Mayat Elen yang ditemukan di Pasific Place keadaannya sangat parah. Wajah korban hampir tidak dikenali karena luka sayatan yang dibuat oleh pelaku. Dari cara pelaku menghabisi korban, dapat kita lihat bahwa pelaku menghabisi korban dengan diikuti amarah atau nafsu yang membuatnya memperlakukan korban seperti pelampiasan seluruh amarahnya. Dalam banyak kasus pembunuhan yang dilakukan kaum heteroseksual, seperti dikutip di Kompas.com, pelaku umumnya menikam korban satu atau dua kali. Sedangkan para homoseksual khususnya kaum gay yang melakukan pembunuhan biasanya menikam korban lebih dari sepuluh kali. Seorang kriminolog menambahkan bahwa pola atau gaya pembunuhan yang dilakukan seorang gay sangat khas. Mereka cenderung menghabisi seseorang yang dianggap menyerobot pacarnya dengan cara-cara di luar kelaziman.


Pelaku disini memiliki motif power atau kekuasaan, dimana ia membunuh untuk menunjukkan eksistensi dan harga dirinya sebagai homoseksual. Menurut Guru Besar Psikologi UI Sarlito, asmara yang tumbuh di antara kaum homoseksual pria umumnya adalah cinta platonis, mencintai untuk menguasai dengan pendekatanloose-loose solution dan bukan win-win solution. Dengan kata lain, dalam kasus-kasus perebutan, perselingkuhan, dan pertengkaran asmara, kaum homoseks umumnya berprinsip, 'kalau saya tidak dapat, maka kamu pun tidak akan mendapat dia'. Interaksi berlangsung agresif saling menghancurkan.


Kecemburuan berbuah pembunuhan. Akankah kasus seperti ini akan kembali bermunculan di masa mendatang pada kalangan homoseksual? Mungkin. Tetapi bukan berarti menutup kemungkinan akan dilakukan oleh kaum heteroseksual yang menurut pandangan masyarakat memiliki orientasi seksual yang normal. Malah, karena kaum heterogen lebih banyak, justru kaum normal inilah yang butuh kita waspadai. Mengutip jargon sebuah tayangan berita di televisi, ‘Buka mata, ini nyata, waspadalah!’

Paramilitary Policing di Indonesia



Paramilitary Policing adalah salah satu hal menarik yang saya pelajari dalam kuliah Polisi dan Pemolisian. Saya memiliki pengertian bahwa Paramilitary Policing adalah suatu bentuk konsep kepolisian yang hampir mirip dengan Tentara Republik Indonesia (TNI), namun ditujukan untuk POLRI. Saya sebut demikian karena Paramilitary Policing, seperti yang disampaikan oleh prof Adrianus dalam kuliah Polisi dan Pemolisian tersebut, memiliki sifat-sifat, atribut-atribut, serta simbol-simbol militer yang dimiliki TNI, seperti seragam, sikap, sebutan personil, jenjang kepangkatan, membawa senjata, menggunakan kekerasan dan sangat sarat dengan nuansa militer.
 
Paramilitary Policing sangat terlihat di tubuh Brimob (Brigadir Mobil). Brimob sendiri memiliki sejarah pembentukan dari zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Seperti yang saya temukan dalam bahan bacaan ‘Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia’ tahun 2007, bahwa Brimob dibentuk tanggal 14 November 1946 untuk bersama-sama dengan elemen bangsa lainnya mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda dan sekutunya untuk kembali menjajah Indonesia.

Dari bahan bacaan yang saya temukan, Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, tulisan Beni Sukadis dkk, Brimob Polri merupakan bagian dari metamorfosis polisi paramiliter bentukan Jepang dan Belanda ketika kedua negara tersebut menjajah bangsa ini. Pada tahun 1912, ketika masa penjajahan Belanda satuan polisi bersenjata dibentuk dengan nama Gewapende Politie dan digantikan oleh satuan lain bernama Veld Politie, tugasnya antara lain: bertindak sebagai unit reaksi cepat, menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, mempertahankan hukum sipil, menghindarkan munculnya suasana yang memerlukan bantuan militer, serta konsolidasi atas wilayah yang dikuasai.

Dalam tulisan tersebut juga disebutkan bahwa POLRI melemah pada masa orde baru. Hal tersebut disebabkan karena struktur POLRI yang masih dibawah ABRI. Itu berimplikasi kepada pengadaan anggaran peralatan dan ketidakjelasan posisi POLRI dalam ABRI. Sikap dan tindakan Polri selama Orde Baru lebih nampak seperti “militer” dan jauh dari sikap polisi sebagai Pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Segala ketentuan angkatan bersenjata juga diberlakukan bagi kepolisian, seperti pendidikan, sistem anggaran dan keuangan serta kebutuhan lainnya
. Untuk itu, akhirnya ABRI dipisahkan dari POLRI sesuai dengan isi TAP MPR No VI dan VII tahun 2000.

Setelah memisahkan ABRI (sekarang TNI) dengan POLRI, masalah yang kemudian dihadapi adalah masalah pendidikan, dimana pendidikan POLRI sedapat mungkin tidak memiliki unsur militer. Karena sewaktu masih bersatu dengan TNI, masalah POLRI adalah tidak dapat menyentuh lapisan masyarakat karena ‘budaya militer’ yang dimilikinya. Untuk itu, sistem pendidikan POLRI lalu berada dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (DEPDIKNAS).

Mengutip tulisan yang sama, kita dapat mengetahui bahwa sistem pendidikan Polri di susun berdasarkan sistem pendidikan nasional, yaitu dengan pengembangan ilmu kepolisian yang dilakukan melalui konsorsium ilmu kepolisian dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berbagai substansi dan latihan Polri termasuk kurikulum pada setiap jenis pendidikannya diorientasikan dengan berbagai materi yang berkait erat dengan profesi kepolisian, antara lain penguasaan masalah-masalah HAM, demokratisasi, lingkungan hidup dan kemampuan dialog interaktif maupun muatan lokal/budaya setempat.

Yang coba saya jelaskan sekarang adalah jika Indonesia memakai Paramilitary Policing di masa depan, maka bukan tidak mungkin sejarah orde baru akan kembali terulang. Wajah Paramilitary Policing di Indonesia menjadi buruk jika diberlakukan kepada seluruh satuan kepolisian Indonesia, sampai pada satuan-satuan yang tugasnya justru mengayomi masyarakat seperti fungsi ketertiban umum dan pelayanan. Selain itu, masalah-masalah baru akan bermunculan akibat tidak dekatnya hubungan antara masyarakat dengan POLRI, salah satunya adalah masalah Hak Asasi Manusia yang terancam. Apalagi, sekarang adalah masa reformasi, dimana masyarakatnya bersikap lebih terbuka terhadap isu-isu yang kerap terjadi di Indonesia. Masyarakat lebih berani untuk melakukan demonstrasi, mogok, dan menunjukkan sikap tidak setujunya kepada pemerintahan. Jika Paramilitary Policing diterapkan kembali, maka bukan tidak mungkin akan kembali terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM yang kemungkinan besar jumlahnya lebih banyak, dikarenakan banyaknya masyarakat yang makin berani menentang pemerintahan yang dulu sempat dibungkam pada zaman orde baru.

Paramilitay Policing cukup diterapkan kepada Brimob maupun satuan-satuan kepolisian yang menangani kasus-kasus tertentu, yaitu pada kasus-kasus berkadar tinggi seperti masalah penanggulangan huru-hara, penjinakan bahan peledak/bom, perlawanan teror, Search and Rescue (SAR), dan lain-lain, dan tidak ke seluruh satuan kepolisian apalagi yang berfungsi sebagai pelayanan dan ketertiban masyarakat. Dengan demikian, penerapan kekuatan paramilitary akan lebih tepat guna. Lagipula, jika Paramilitary Policing diterapkan, maka ‘wajah’ polisi akan terlihat sangar dan jauh dari masyarakat sehingga membuat masyarakat malas untuk melakukan laporan atas kejahatan-kejahatan yang terjadi.

Jadi menurut saya, Paramilitary Policing di Indonesia di masa depan dinilai kurang cocok dengan keadaan Indonesia sendiri. Lebih baik Indonesia memakai Community Policing. Karena selain lebih manusiawi, juga lebih efektif karena melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam menangani masalah kejahatan. Selain itu akan tercipta polisi-polisi yang lebih bersahabat dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih berani untuk melaporkan kejahatan yang mereka alami karena tingginya tingkat kepercayaan terhadap polisi tadi. Dengan begitu, sifat polisi Indonesia yang cenderung reaktif lebih dapat berjalan karena laporan dari masyarakat juga berjalan dengan baik.


Bandidos dan Organisasi Masyarakat Indonesia


Dari berbagai artikel yang saya cari di internet, saya menemukan bahwa Bandidos merupakan sebuah perkumpulan orang-orang yang dikenal suka mengendarai motor-motor besar, yang memiliki ikatan persaudaraan yang kuat. Awal mula terbentuknya Bandidos adalah di Texas, pada tahun 1960an. Bandidos sendiri merupakan geng motor yang paling banyak menyebar di seluruh dunia. Mereka memiliki cabang-cabang antara lain di Amerika, Canada, Eropa, hingga Asia.

Keterikatan sosial dalam Bandidos sangat erat. Mereka menganggap anggota Bandidos lain sebagai keluarga dekat mereka, bahkan lebih dekat dari keluarga asli yang sebenarnya. Ini terbukti dari perlakuan mereka terhadap sesamanya.
 “It's closer than family. In fact, I'm closer to my Bandido brothers than I am to my immediate family

Keintiman hubungan para anggota Bandidos itu terbukti dari kepedulian mereka terhadap salah satu anggota geng yang tewas. Saat seorang Bandido bernama Jay Negrete ditembak di luar bar di San Pedro pada tahun 2001, ratusan bandido datang ke San Antonio dari segala penjuru dunia untuk mengucapkan bela sungkawa. Dan jika mereka merasa kematian anggota tersebut tidak wajar, seperti karena dibunuh, maka mereka akan membalas dendam kepada pembunuhnya.

Namun, yang kita fokuskan saat ini adalah bagaimana sebuah geng sebesar Bandidos yang notabene sudah menyebar di seluruh dunia, ikut andil dalam berbagai tindak kriminal. Dalam tulisan Brian Collister yang berjudul ‘Bandidos: Outlaw Bikers’, dijelaskan macam-macam tindak kriminal yang dilakukan oleh geng Bandidos ini.
 Kejahatan yang mereka lakukan antara lain perdagangan narkoba, penggelapan uang, pembunuhan, penipuan, pencurian, prostitusi, penyelundupan senjata, telemarketing, dan kejahatan-kejahatan lain yang menyebabkan kepanikan sosial.

Meskipun begitu, para Bandidos sendiri, tidak mengakui bahwa gengnya telah melakukan tindakan kriminal seperti itu. Mereka beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh anggota gengnya adalah urusan mereka sendiri. Tindak kejahatan yang dilakukan bukan semata-mata karena geng, tetapi karena ada keperluan pribadi. Seperti diakui John Portillo, salah satu pemimpin Bandidos di San Antonio, "If a brother is caught dealing dope or doing anything illegal, that's individual achievement. He's on his own. We don't condone that. That is not done as a club."[1]


Di Indonesia, terdapat organisasi serupa yang sering disebut dengan ‘geng motor’. Akhir-akhir ini geng motor menyita perhatian publik dengan tersebarnya video tata cara perekrutan anggota baru dari geng motor tersebut yang sarat akan kekerasan. Ternyata, video tersebut merupakan pemicu terkuaknya fenomena geng motor sebagai sebuah generasi yang penuh dengan kejahatan kekerasan. Tidak sampai disitu, media kemudian mengangkat isu geng motor dari berbagai sudut pandang, termasuk dari sudut pandang anggota geng tersebut yang ternyata sama-sama berkelit.


Lalu, apakah geng motor itu merupakan salah satu dari Organized Crime yang melibatkan narkotika di dalamnya? Hal ini bisa dikaitkan dengan network yang terdapat di kedua geng tersebut. Bandidos dinilai memiliki network yang luas, sehingga jika mereka menggunakannetwork tersebut sebagai jaringan pengedar narkotik pastinya akan tersebar luas bahkan di tingkat internasional. Bandidos memiliki jaringan masing-masing di setiap negaranya, dan merupakan wadah berkumpulnya para anggota geng. Sedangkan geng motor umumnya hanya tersebar di beberapa daerah. Selain itu kejahatan kekerasan geng motor yang dilakukan meskipun dinilai serius, namun jauh dibawah Bandidos yang memiliki catatan tindak kriminal yang lebih banyak dan beragam
.



[1] Brian Collister. 2008. Bandidos: Outlaw Bikers. [WOAI online]