Sunday 21 June 2009

Perempuan: Sales Promotion Bandar Narkoba


Narkoba bukan merupakan hal baru bagi Indonesia, apalagi terkait isu perempuan. Jika dinilai sekilas, jarang ada perempuan yang terlibat dalam kasus narkoba baik sebagai pemakai, pengedar, maupun produksi. Namun, seiring berjalannya waktu, makin banyak bermunculan para perempuan yang terlibat dalam kasus narkoba. Ini terkait dengan adanya kejahatan-kejahatan terorganisir yang menginginkan tersebarluasnya pasar narkotik Indonesia di dunia.
Melihat keterlibatan perempuan dalam narkoba tidak bisa disamakan dengan keterlibatan pria. Karena, jika perempuan tertangkap menggunakan atau mengedarkan narkoba, maka ia akan terkena sangsi sosial berganda. Pertama, dia adalah perempuan, dan yang kedua, ia berbuat kejahatan. Seperti sudah dibahas diawal, peranan perempuan dalam penjualan narkoba bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi perdagangan narkoba secara internasional. Perempuan dianggap lebih menarik untuk dijadikan pekerja distribusi obat-obatan terlarang tersebut. Mereka dijadikan kurir untuk menjual narkotik.

Hal ini berkaitan dengan artikel yang saya temukan. Artikel tersebut berjudul “Perempuan Indonesia Direkrut Jadi Kurir Narkoba Lintas Negara” yang diakses dari detiknews.com. Artikel tersebut membahas mengenai kasus penyelundupan Narkoba yang selalu melibatkan perempuan sebagai kurir. Menurut Dir IV Narkoba dan Kejahatan Terorganisir Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Indradi Thanos, proses perekrutan kurir dari Indonesia itu dilakukan dengan cara mencari perempuan usia matang yang sedang duduk sendirian di cafe. Setelah disapa dan bisa berbahasa Inggris, lalu pelaku berkenalan dengan perempuan tersebut. Setelah tiga sampai lima kali pertemuan, perempuan dan orang kulit hitam tersebut mengadakan pertemuan di kontrakan si orang kulit hitam itu. Disitulah si perempuan direkrut menjadi kurir. Tambahnya lagi, perempuan-perempuan itu hanya ditugasi untuk bertemu penjual, mengambil barang, dan kembali ke Indonesia. Sebuah tugas yang dinilai mudah namun beresiko tinggi. Dari tugas tersebut, perempuan itu juga mendapat gaji yang cukup.
Perempuan-perempuan sebagai kurir dinilai memiliki daya tarik tersendiri untuk menarik pembeli. Dalam konteks ini, perempuan jarang dicurigai memiliiki keterlibatan dalam narkoba, sehingga para bandar percaya bahwa tingkat kecurigaan polisi akan lebih rendah, dan kemungkinan untuk ketahuan dan tertangkap lebih kecil. Seandainya jika laki-laki yang tertangkap terlibat narkoba, maka hal itu sudah biasa. Namun, itu tidak berlaku dengan perempuan. Karena perempuan akan lebih tidak dicurigai daripada pria.
Saya teringat waktu itu sekitar setahun yang lalu, saya duduk sendirian di warung internet dekat rumah saya. Tiba-tiba ada orang kulit hitam yang menanyakan nama saya, tempat saya tinggal, dan lain-lain dalam bahasa setengah Indonesia, setengah Inggris. Karena kesal, saya segera pergi dari tempat itu. Lalu, apakah dia seorang perekrut kurir wanita? siapa tahu. Waspadalah!

Antara Privacy, Identity Theft, dan Stalking




Dewasa ini, kehadiran internet merupakan suatu keharusan jika tidak ingin tertinggal berbagai informasi. Internet adalah sistem jaringan yang menghubungkan seluruh komputer di dunia yang berguna untuk mencari informasi di seluruh dunia, dan juga dapat berinteraksi langsung dengan orang lain yang berada jauh dari kita. Atau dengan kata lain, Internet dapat diartikan sebagai jaringan komputer luas dan besar yang mendunia, yaitu menghubungkan pemakai komputer dari suatu negara ke negara lain di seluruh dunia, dimana di dalamnya terdapat berbagai sumber daya informasi dari mulai yang statis hingga yang dinamis dan interaktif[1]
Kemampuan internet dalam menghubungkan masyarakat di seluruh dunia, sangat membantu aliran informasi yang sangat pesat. Setiap orang mampu meghubungi orang lain yang berada di kota atau bahkan negara yang berbeda, dengan hanya mengklik mouse yang berada di depan mereka. Mereka juga mampu mengakses, mengunduh dan mengambil apapun dari internet. Segala kemudahan itu bukan berarti tanpa kerugian. Merebaknya internet tentu saja menyebabkan beberapa kesulitan baru, yaitu mengenai privasi. Ruang privasi manusia seolah menyempit karena adanya ruang publik, second life, yang seolah membebaskan kita untuk berkreasi, sekaligus memasukkan data-data baik yang bersifat umum ataupun privasi. Data yang bersifat privasi misalnya adalah alamat rumah, nomor telepon, bahkan nomor rekening bank.



       Setiap orang berhak memiliki nama domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama. Setidaknya itu diatur dalam UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Domain yang dimiliki tentunya wajib didasarkan pada itikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak orang lain. Karena pentingnya privasi, maka diaturlah mengenai data-data pribadi yang beredar di masyarakat. Dalam pasal 28 Undang-undang yang sama dijelaskan bahwa:

(1) Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data tentang hak pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan pemilik data tersebut.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah penggunaan informasi yang bersifat umum dan tidak bersifat rahasia melalui media elektronik.

Pasal tersebut dibuat setidaknya untuk melindungi masyarakat khususnya para pemakai internet dari ancaman cyber crime. Banyak sekali kejahatan yang melibatkan cyberspace didalamnya. Namun, yang menyangkut masalah privasi, terdapat kejahatan-kejahatan komputer seperti identity theft dan stalking.
Identity management at the most common is the connection between a personal name, address or location, and account[2]. Identitas antara lain berisi nama personal, alamat, lokasi, dan akun. The most common identity management mechanisms today focus on the certification of a person known in an organization to interact with enterprise systems. With enterprise identity systems, this has expanded into an integrated system of business processes, policies and technologies that enable organizations to facilitate and control their customers’ access to critical online applications and resources while protecting confidential personal and business information from unauthorized users[3]. Identitas di dunia maya sangat berguna untuk melakukan segala kegiatan serta menjaring informasi dari internet. Kepemilikan identitas di cyberspace tentunya diatur sedemikian rupa untuk menjaganya tetap milik pribadi dan tidak disalahgunakan oleh orang lain untuk kepentingan lain pula. Salah satu perlindungan sederhana atas sebuah identitas adalah dengan memasukkan password. Namun, cara ini tidak lagi efektif, karena ada beberapa oknum-oknum yang berhasil mencuri password dan menggunakannya untuk keperluan pribadi, bahkan untuk berbuat jahat seperti cyber fraud, terrorism, dan lainnya. Hal itulah yang disebut dengan identity theft, dimana pelaku menggunakan identitas orang lain di dunia cyberspace untuk melakukan sesuatu, bahkan melakukan kejahatan. Ini dapat disebut kejahatan dan pelanggaran hukum. Seperti yang sudah ditampilkan sebelumnya, pasal 28 UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, “Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data tentang hak pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan pemilik data tersebut.” Dengan menggunakan identitas orang lain tanpa izin itu berarti melanggar hukum.
Lalu, apa yang dimaksud dengan cyberstalking? Stalking dalam bahasa Indonesia yaitu penguntitan. Seperti di dunia nyata, jika kita dikuntit oleh orang tak dikenal, maka kita akan merasa takut dan tidak nyaman. Begitupun di dalam cyberspace, yang biasa disebut cyberstalking. Penguntitan dilakukan dengan mengupload materi-materi tentang korban yang bersifat merugikan dan mencemarkan nama baik. Seperti mengatakan kalau korban itu perempuan murahan, dan sebagainya. Sehingga korban merasa tidak nyaman atau bahkan depresi.
Dalam buku karya Petrus Reinhard Golose misalnya, diceritakan sebuah kasus nyata dimana seorang gadis di Amerika tersiksa dan mengalami depresi berkepanjangan karena cyberstalking ini. Dia bertemu dengan seorang satpam gereja berusia 50 tahun yang jatuh cinta kepada gadis itu, namun tidak mendapat balasan yang sama dari gadis tersebut. Pelaku yang tersinggung lalu mem-posting identitas pribadi korban yaitu penampilan fisik, alamat, nomor telepon dan lain sebagainya, serta cara menerobos web milik korban. Korban dikatakan sebagai perempuan murahan, sehingga, ratusan pemakai internet mengakses dan mengajaknya ‘berkencan’. Bahkan setiap malam korban mendapat telepon dari berbagai lelaki yang tidak dikenal dan hal ini tentunya sangat menyiksa korban[4].
Kedua jenis kejahatan tersebut, identity theft dan stalking merupakan kejahatan yang melibatkan privasi di dalamnya. Privasi diperlakukan secara tidak baik sehingga timbul kejahatan. Tidak salah jika Bareskrim kemudian mengeluarkan slogan ‘Think Before Click’. Berpikir sebelum memasukkan data yang bersifat pribadi ke dunia maya. Ini berguna, karena kita tidak tahu siapa yang kita hadapi dalam our second life.


[1] http://www.litbang.depkes.go.id/tik/media/Pengantar_WWW.doc
[2] L. Jean Camp, 2007, Economics of Identity Theft Avoidance, Causes and Possible Cures, New York: Springer Science Business Media, LLC.
[3] ibid
[4] Petrus Reinhard Golose, 2008, Seputar Kejahatan Hacking: Teori dan Studi Kasus, Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian

Merokok: Sebuah Proses Belajar Pada Anak




Merokok merupakan satu kegiatan yang banyak dilakukan oleh orang dewasa. Namun, dewasa ini, menghisap rokok juga dilakukan anak-anak. Padahal, dampak merokok sangat berbahaya, apalagi jika dilakukan anak-anak. Bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh telah diteliti dan dibuktikan banyak orang. Efek-efek yang merugikan akibat merokok pun sudah diketahui dengan jelas. Banyak penelitian membuktikan kebiasaan merokok meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker osefagus, bronkhitis, tekanan darah tinggi, impotensi serta gangguan kehamilan dan cacat pada janin. Tidak kurang dari 4000 zat kimia beracun dikeluarkan oleh rokok kedalam tubuh kita. Zat kimia yang dikeluarkan ini terdiri dari komponen gas (85 persen) dan partikel. Nikotin, gas karbonmonoksida, nitrogen oksida, hidrogen sianida, amoniak, akrolein, asetilen, benzaldehid, urethan, benzen, methanol, kumarin, 4-etilkatekol, ortokresol dan perylene adalah sebagian dari beribu-ribu zat di dalam rokok. Komponen gas asap rokok adalah karbonmonoksida, amoniak, asam hidrosianat, nitrogen oksida dan formaldehid. Partikelnya berupa tar, indol, nikotin, karbarzol dan kresol. Zat-zat ini beracun, mengiritasi dan menimbulkan kanker (karsinogen)[1].


Tidak heran jika kemudian larangan terhadap rokok dilakukan dimana-mana. Bahkan, pemerintah mengharuskan pabrik rokok untuk mencantumkan bahaya rokok pada setiap kemasan produk rokoknya. Namun, para perokok tetap saja tidak mengindahkan peringatan tersebut. Jika orang dewasa saja tidak mengindahkan peringatan tersebut apalagi anak-anak yang cenderung belum mengerti bahaya rokok. Sehingga, sekarang, makin banyak saja anak-anak yang mulai merokok.
Menurut hasil penelitian, di Jakarta didapatkan 34 persen murid sekolah usia SMP pernah merokok dan sebanyak 16,6 persen saat ini masih merokok. Di Bekasi, didapatkan 33 persen murid sekolah usia SMP pernah merokok dan sebanyak 17,1 persen saat ini masih merokok. Demikian halnya di Medan, didapatkan 34,9 persen murid sekolah usia SMP pernah merokok dan sebanyak 20,9 persen saat ini masih merokok. Dengan demikian, rata-rata jumlah perokok remaja di Indonesia lebih tinggi daripada data di Bhutan, yakni sekitar 20 persen dan di India atau Bangladesh angkanya berada di bawah 10 persen[2].
Data GYTS (Global Youth Tobacco Survey) Indonesia juga menunjukkan di Jakarta didapatkan 66,8 persen murid sekolah usia SMP tinggal serumah dengan orang yang merokok dan 81,6 persen tercemar asap rokok di luar rumah. Di Bekasi didapatkan 66,3 persen murid sekolah usia SMP tinggal serumah dengan orang yang merokok dan 76,1 persen tercemar asap rokok di luar rumah. Di Medan, didapatkan 69,0 persen murid sekolah usia SMP tinggal serumah dengan orang yang merokok dan 79,5 persen tercemar asap rokok di luar rumah. ”Hal ini memprihatinkan dan seharusnya menjadi pusat perhatian semua pihak,” demikian Peneliti Utama GYTS Indonesia Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, baru-baru ini[3].
Anak adalah masyarakat dan warga yang berumur dibawah 18 tahun dan belum menikah. Pengertian tersebut dibuat tentunya bukan tanpa alasan. Pada umur dibawah 18 tahun perkembangan anak masih belum sematang orang dewasa. Anak-anak dianggap belum mengerti sepenuhnya dan belum memiliki tanggung jawab layaknya orang dewasa. Begitupun jika menyangkut masalah rokok.
Anak-anak belum mengetahui sepenuhnya bahaya jika mereka menghisap rokok. Pengetahuan mereka belum cukup untuk mengerti apa itu nikotin, tar, dan berbagai zat yang ada di dalam rokok dan pengaruhnya terhadap tubuh. Meskipun dilarang oleh berbagai pihak, merokok yang dilakukan anak-anak sebenarnya bukan merupakan pelanggaran hukum. Merokok yang dilakukan oleh anak-anak merupakan status offences. Status offences adalah segala hal yang dilakukan orang dewasa dianggap biasa saja, sedangkan jika dilakukan anak-anak maka dianggap nakal atau menyimpang. Misalnya saja bolos, merokok, dan menonton film porno. Pelanggaran hukum berbeda dengan status offences. Pelanggaran hukum merupakan perbuatan yang jika dilakukan anak-anak maupun dewasa sama-sama dianggap menyimpang. Misalnya seperti mencuri, memperkosa, membunuh, dan perilaku lainnya yang dilarang dalam Undang-undang
Anak-anak merokok biasanya terjadi bukan karena kemampuan sendiri, namun meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan sekitar. Itulah kenapa lingkungan sekitar sangat mempengaruhi kebiasaan anak untuk merokok. Lingkungan tersebut bermacam-macam mulai dari keluarga, lembaga pendidikan hingga lingkungan sekitar tempat dimana anak-anak tersebut berinteraksi. Berikut merupakan uraian lingkungan yang memberikan pengaruh kepada anak-anak untuk merokok.

Keluarga
        “According to the literature, the family as an institution plays a critical role in the socialization of children; as a consequence, parents presumably play a critical role in whether their children misbehave (Ogburn, 1933; Parsons, 1955; Rossi, 1977; Kagan, 1977”)[4]
Menurut berbagai sumber, keluarga memegang peranan penting dalam proses sosialisasi anak. Sebagai konsekuensinya, orang tua memiliki peran aktif jika anaknya melakukan hal yang menyimpang. Orang tua, selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan biologis anak seperti gizi dan kesehatan, juga berperan dalam proses sosialisasi anak. Jika memakai istilah “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, maka anak dapat diposisikan sebagai “buah” yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “pohon” yang merupakan orang tuanya.
Hasil survei terhadap 400 pelajar di Kota Yogyakarta oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UGM menunjukkan pengaruh orangtua sangat dominan dalam mempengaruhi anak menjadi pecandu rokok. Peneliti PSW Dr Siti Hariti Sastriyani menyatakan, survei menunjukkan 64,4% anak/remaja merokok lantaran meniru ayahnya, 3,8 % menyontoh ibunya[5].
Dari hasil penelitian diatas dapat kita ketahui bahwa anak-anak cenderung meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Mereka tidak mengerti bahwa apa yang mereka lakukan tidak selamanya benar. Mereka pikir jika orang tua mereka melakukannya, maka itulah yang mereka anggap benar. Karena orang tua adalah tokoh panutan mereka sejak kecil, maka mereka melakukan proses identifikasi terhadap orang tuanya. Begitupun saat mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai perokok, orang tua berperan penting dalam memberikan identifikasi tersebut.








Lembaga Pendidikan
       Setelah seorang anak menginjak usia tertentu, maka mereka diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dasar 9 tahun di sebuah lembaga bernama sekolah. Selain tempat belajar secara formal, sekolah juga merupakan tempat belajar para anak untuk bersosialisasi, baik dengan teman sebayanya maupun dengan orang-orang di lingkungan sekolah. Tidak heran jika kemudian anak-anak mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya.
Anak merokok di sekolah bisa dikarenakan meniru lingkungannya. Di lingkungan sekolah terdapat para guru, para murid dan karyawan sekolah lainnya seperti satpam, petugas administrasi, dan lain sebagainya. Tidak jarang para guru dan karyawan merokok di lingkungan sekitar sekolah. Kegiatan itu dilihat oleh anak-anak yang kemudian menginternalisasikan hal itu ke dalam dirinya. Apalagi, mereka sudah menganggap guru itu sebagai teladan yang patut dicontoh. Seorang guru merupakan sosok panutan anak-anak murid karena perannya sebagai pengajar dan pendidik yang selalu dianggap benar oleh murid-muridnya. Itulah mengapa anak-anak lalu merasa sah-sah saja meniru gurunya untuk merokok.
Bahkan, perilaku merokok di sekolah bisa disebabkan oleh teman-teman sebayanya. Bisa saja anak-anak yang meniru gurunya untuk merokok lalu mengajarkan kepada teman-temannya yang lain. Atau kebetulan ada anak-anak lain yang melihat temannya merokok lalu ingin mecoba ikut-ikutan.



Lingkungan Sekitar
        Selain dari keluarga dan lembaga pendidikan, anak-anak juga belajar merokok dari lingkungan sekitar. Media massa misalnya, berperan penting dalam proses sosialisasi rokok kepada anak-anak. Iklan rokok dianggap sebagai kendala utama dalam pencegahan dampak bahaya rokok terhadap anak-anak. Bagaimana tidak? Sebagian besar iklan rokok menayangkan para lelaki yang terkesan pemberani, tangguh dan jantan saat menggunakan produk rokok tersebut. Anak-anak pun terpancing dan ingin menjadi seperti orang yang ada dalam iklan itu. Anak-anak lalu mengidentifikasikan dirinya seperti model iklan di televisi atau media massa lain, dan akhirnya mengkonsumsi rokok.
Penelitian Komnas Perlindungan Anak tahun 2007 menunjukkan bahwa 91,7% remaja berusia 13-15 tahun di DKI Jakarta merokok karena didorong oleh pengaruh iklan. Media massa cetak dan elektronik harus bertanggung jawab terhadap bahaya merokok ini.[6]
Warung rokok juga memberikan kontribusi negatif pada anak usia sekolah. Di Jakarta, Bekasi dan Medan didapatkan hampir 70 persen murid sekolah usia SMP membeli rokok pada penjual rokok tanpa ditanyai usianya oleh penjual rokok.[7]
Tersebarnya warung rokok juga menjadi salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku anak untuk merokok. Penjual rokok jarang bahkan tidak bertanya jika ada anak-anak dibawah umur yang membeli rokok. Karena para penjual tersebut seringkali beranggapan bahwa anak-anak itu membeli rokok karena disuruh oleh orang tuanya, atau oleh orang dewasa lain.



Kesimpulan
       Anak belajar untuk melakukan berbagai hal. Anak belajar menulis, berbicara, bersosialisasi, dan melakukan berbagai hal termasuk merokok. Hal ini tidak luput dari peran lingkungan dalam membentuk anak tersebut akan jadi apa nantinya. Anak cenderung suka meniru, mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh panutannya yang dianggap benar dan menyenangkan. Terdapat proses belajar dalam dirinya yang kemudian mempengaruhi perilakunya dalam bersosialisasi dengan orang lain. Proses belajar inilah yang terkadang dilakukan anak-anak tanpa mengerti apakah yang dicontohnya itu benar atau salah.
        Namun, tidak selamanya proses belajar merupakan penyebab anak merokok. Kontrol sosial juga memegang peranan penting dalam membentuk anak menjadi merokok. Tidak adanya Undang-undang yang melarang anak-anak untuk merokok juga menjadi salah satu sebab meningkatnya jumlah perokok anak-anak. Kontrol sosial eksternal yang lemah ini kemudian tidak dapat mengikat anak-anak untuk tidak merokok. Pengawasan dari orang-orang terdekat seperti keluarga, guru dan orang dewasa lainnya juga memegang peranan penting dalam mencegah anak untuk merokok. Namun, pengawasan saja tidak cukup. Butuh lebih banyak cara untuk mencegah dan menanggulangi anak merokok.